Di era media sosial dan informasi serba cepat, anak-anak SMP dibombardir oleh konten online setiap detiknya. Membedakan fakta dan fiksi menjadi tantangan besar, terutama saat emosi dipicu oleh berita sensasional. Untuk membekali mereka, institusi pendidikan kini melatih siswa menjadi Detektif Data Cilik, sebuah konsep yang mengajarkan keterampilan verifikasi informasi praktis dan cepat. Kemampuan ini bukan hanya soal menghindari hoaks yang berpotensi menimbulkan keresahan, tetapi juga membentuk dasar literasi digital yang kritis dan bertanggung jawab. PMI, melalui program edukasinya, telah merumuskan tiga langkah sederhana yang dapat digunakan siswa untuk membongkar kebohongan saat menjelajah internet.
Tiga langkah ini menjadi pedoman operasional bagi siswa untuk mengubah pola pikir pasif menjadi kritis. Program ini, yang sering diintegrasikan ke dalam materi TIK atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), menekankan kecepatan dan akurasi. Sebagai studi kasus nyata, di SMP Negeri 7 Bandung, sebuah pelatihan intensif digelar untuk siswa kelas IX yang tergabung dalam Duta Literasi Sekolah. Pelatihan yang dilaksanakan pada hari Rabu, 23 Oktober 2024, pukul 10:00 WIB, berfokus pada analisis informasi terkait isu kesehatan dan bencana alam yang kerap menjadi target hoaks.
Langkah pertama yang diajarkan untuk menjadi Detektif Data Cilik adalah Cek Sumber dan Kredibilitas Domain. Siswa diminta untuk selalu menanyakan: Siapa yang menerbitkan berita ini? Apakah itu lembaga resmi (.go.id atau .ac.id), media massa terverifikasi, atau hanya blog pribadi tanpa redaktur jelas? Mereka dilatih untuk curiga jika menemukan URL yang tidak lazim (misalnya menggunakan kombinasi angka atau huruf acak) atau sumber yang tidak mencantumkan nama penulis serta tanggal publikasi yang jelas. Misalnya, dalam sebuah simulasi, siswa berhasil mengidentifikasi sebuah website yang mengklaim menjual vaksin Covid-19 palsu sebagai hoaks karena domain situsnya berakhiran .xyz dan informasi kontak yang dicantumkan ternyata merupakan nomor telepon fiktif yang telah terdaftar di Sistem Pengaduan Konsumen Nasional (SISPEKUN) sebagai nomor bermasalah.
Langkah kedua adalah Verifikasi Visual Cepat (RIS). Hoaks sering menggunakan foto atau video lama yang diedit atau dicomot dari peristiwa di tempat lain. Instruktur mengajarkan siswa menggunakan fitur Reverse Image Search (RIS) pada mesin pencari. Dengan hanya mengunggah gambar atau menempelkan tautan gambar, Detektif Data Cilik dapat melacak kapan dan di mana foto itu pertama kali muncul. Dalam pelatihan tersebut, tim edukasi PMI menunjukkan sebuah foto lama bencana banjir tahun 2017 yang disebarkan ulang pada tahun 2024. Siswa mampu membongkar kebohongan tersebut hanya dalam waktu kurang dari dua menit, dengan hasil RIS menunjukkan bahwa foto tersebut berasal dari arsip media massa resmi dan tidak relevan dengan tanggal peristiwa yang diklaim.
Langkah ketiga adalah Analisis Emosi dan Provokasi Judul. Siswa diajarkan bahwa berita resmi dan valid, termasuk rilis dari Polsek Sumur Bandung atau instansi pemerintah, cenderung menggunakan bahasa yang netral, informatif, dan tidak memancing emosi ekstrem. Sebaliknya, hoaks sering menggunakan judul yang bersifat clickbait, mengandung kata seru, atau bernada ancaman (“Wajib Dibaca!”, “Segera Sebarkan, Bahaya Besar Mengintai!”). Siswa dilatih untuk berhenti sejenak dan menenangkan diri sebelum menyebarkan konten yang memicu rasa marah atau panik. Dengan tiga langkah yang terstruktur ini, program Detektif Data Cilik secara efektif melatih siswa SMP untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas, kritis, dan mampu menjadi agen perubahan dalam melawan penyebaran disinformasi di lingkungan mereka.