Fenomena perundungan atau bullying telah menjadi isu krusial yang terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk bertumbuh, justru tak jarang menjadi arena bagi praktik diskriminasi dan kekerasan. Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 50% kasus bullying yang dilaporkan terjadi di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), menjadikannya jenjang pendidikan dengan kasus tertinggi. Angka ini menegaskan betapa mendesaknya kebutuhan sekolah, terutama SMP, untuk mengambil langkah strategis dalam Melawan Bullying dengan fokus pada penanaman nilai toleransi dan penghargaan terhadap keragaman karakter. Ini bukan hanya tentang penindakan, tetapi sebuah transformasi budaya sekolah.
Inisiatif pencegahan bullying di SMP harus berakar pada pemahaman bahwa setiap individu memiliki keunikan—latar belakang suku, agama, ekonomi, hingga kepribadian yang berbeda—dan keragaman ini adalah kekayaan, bukan alasan untuk memecah belah. Program anti-bullying yang efektif perlu diintegrasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan sekolah, mulai dari kurikulum hingga kegiatan ekstrakurikuler. Salah satu SMP yang telah menunjukkan komitmen nyata dalam upaya ini adalah SMP Bhinneka Karya di Jakarta Timur, yang sejak tahun ajaran 2024/2025 telah menerapkan “Program Sahabat Bhinneka”. Program ini bukan hanya sebatas seminar atau poster, melainkan sebuah gerakan kultural yang melibatkan seluruh warga sekolah.
Penerapan program ini diawali dengan pelatihan intensif bagi para guru dan staf sekolah pada hari Sabtu, 21 September 2024. Pelatihan tersebut menekankan pada pengenalan bentuk-bentuk bullying (verbal, fisik, relasional, dan cyberbullying), serta cara respons yang tepat dan penuh empati. Selanjutnya, setiap hari Senin, para siswa diwajibkan mengikuti sesi “Cerita Keragaman”, di mana mereka berbagi pengalaman atau pengetahuan tentang budaya, tradisi, atau pandangan hidup yang berbeda, didampingi oleh Guru Bimbingan Konseling, Ibu Rina Widyanti, S.Psi. Tujuannya adalah untuk memecahkan stereotip dan membangun empati. Langkah konkret lain adalah pembentukan “Tim Anti-Bullying” yang anggotanya terdiri dari perwakilan siswa dari setiap kelas, dibimbing langsung oleh Wakasek Kesiswaan, Bapak Arya Senjaya, M.Pd. Tim ini berfungsi sebagai mata dan telinga sekolah, memberikan laporan dini, dan memediasi konflik kecil sebelum berkembang menjadi tindakan Melawan Bullying yang serius.
Untuk memastikan keseriusan penanganan, SMP Bhinneka Karya juga telah menetapkan prosedur pelaporan dan penindakan yang transparan. Apabila terjadi kasus perundungan, pelaporan dapat dilakukan secara anonim melalui kotak saran atau langsung kepada Tim Anti-Bullying, yang kemudian akan memproses laporan tersebut. Kasus yang terbukti melanggar akan ditangani dengan pendekatan restoratif, fokus pada edukasi dan pemulihan, baik bagi korban maupun pelaku, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Pendekatan ini bertujuan untuk memutus rantai kekerasan, bukan sekadar memberikan hukuman. Misalnya, pada kasus cyberbullying yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 2024, di mana seorang siswa diejek di media sosial, pihak sekolah melakukan sesi mediasi yang melibatkan orang tua, pelaku, dan korban, serta mewajibkan pelaku mengikuti konseling selama dua minggu. Pihak sekolah juga telah menjalin kerja sama dengan Pos Polisi Sektor Duren Sawit, melalui pertemuan rutin setiap bulan di minggu pertama, untuk konsultasi dan dukungan hukum jika diperlukan dalam kasus yang parah.
Secara keseluruhan, upaya Melawan Bullying di lingkungan SMP tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Hal ini membutuhkan komitmen jangka panjang, keterlibatan aktif dari semua pihak—kepala sekolah, guru, staf, siswa, dan orang tua—serta penerapan program yang mengajarkan siswa untuk tidak hanya sekadar bertoleransi, tetapi benar-benar menghargai dan merayakan keragaman karakter sebagai bagian integral dari identitas bangsa. Dengan fondasi empati dan penghargaan yang kuat, sekolah dapat bertransformasi menjadi tempat yang lebih inklusif dan aman bagi semua pelajar.